Isyarat ini akan tiba, entah sampai di indera milikmu yang mana. Satu-satunya yang kukuasai hanyalah membuat narasi dan seonggok nama. Aku bisa melihatmu hanya dengan memejam. Aku bisa mendengar renyah tawamu tanpa perlu gelombang. Hatiku teduh atas gaya bahasa dalam namamu yang tidak dapat ditiru. Tuhan telah mencabut rasa kurang terhadap apa yang dititipkan di isi kepalaku. Bagiku, perasaan cukup adalah sebuah kemewahan.
Kupandangi langkahmu di koridor gedung itu, ringan namun pasti. Tanganmu membawa kamus setebal lima ratus halaman dan beberapa dokumen penting. Engkau tampak yakin, meski usiamu terbilang sangat muda. Mungkin karena engkau sudah teramat sering berbicara di muka banyak manusia. Mungkin juga karena engkau terlampau percaya bahwa berbagi ilmu adalah jihad di jalanNya. Hati siapa yang takkan jatuh?
Sesekali bola matamu menelisik sekitar. Terkadang bibirmu bergerak melihat perilaku-perilaku ajaib anak-anak baru gede di sekelilingmu. Gereget atau kesal, biar kutebak. Atau bisa jadi malah membuatmu bernostalgia ke masa lalu. Sesekali engkau juga tersenyum ramah pada rekan-rekan yang engkau temui.
Langkahmu semakin pasti menaiki anak tangga demi tangga. Napasmu terdengar teratur, aku bisa merasakannya. Engkau suka berolahraga, bukan? Rasanya, mencapai lantai lima bukan hal yang luar biasa melelahkan bagimu. Melihat apa yang tengah engkau lalui, membuat wajahku merona. Aku hafal sekali jengkal demi jengkal lantainya juga lapisan tipis debu yang menempel di sana. Lampunya yang redup dan pelit, terkadang membuat beberapa penakut bergidik ngiri. Aku ingin memanggilmu dan membagikan kenangan yang kupunya. Namun, langkahmu terlalu pasti, menggerakkanku untuk tetap bisu.
Seseorang lelaki yang tampak lebih tua darimu tampak mengejar. Ia meneriakkan namamu. Engkau menoleh dan tersenyum lebar. Tak kusangka, aku bisa melihat senyummu dari jarak sedekat itu. Harimu tampak sempurna, ya? Harimu cerah, karir cemerlang, engkau punya rekan kerja yang menyenangkan. Aku merasakan berkatnya menghangat lewat sorot matamu.
Lelaki itu tampak menyerahkan setumpuk kertas putih setebal 5 cm yang telah dikliping rapi. Ia menanyaimu apakah engkau memiliki waktu luang. Kudengar ia hendak meminta tolong perihal pendataan ulang penerima penghargaan bantuan pendidikan dalam beberapa tahun ajaran, sebab seniormu tengah mengambil cuti.
Aku sedikit tersentak ketika tangan lembutmu mengambil file itu. Engkau dan aku sedekat urat nadi. Apa yang kupunya untukmu hendak meluber, melebur, melebar. Tak ada lagi tempat sembunyi. Sebab aku di sana, di tumpukan kertas putih itu. Aku ingin menjatuhkan diri, sembunyi sejauh-jauhnya, namun aku hanya sepenggal nama.
Langkahmu sudah terhenti di ruangan yang engkau tuju. Suasana masih cukup sepi. Angin berembus dari jendela yang terbuka, menggoyangkan setumpuk kertas yang engkau terima. Tidak salah lagi, semesta sudah memberikan izinnya.
Angin pula yang menarik perhatianmu pada setumpuk kertas itu. Pelan-pelan engkau membuka dan membacanya. Matamu tampak teliti menyisir satu persatu nama-nama yang bertengger rapi di sana.
Sampailah engkau pada satu nama.
“Arunala Renada, 2016; 2018/2019.”
Isyarat itu akhirnya tiba.
Tersentuh kulitmu
Sampai pada matamu
Meluncur dari lidahmu
Terdengar melalui suaramu.
Jakarta, 30 Juli 2021
In the wings of the ᴎwɒb.